Sejarah
Islam mencatat kemenangan gemilang kaum Muslimin di masa lalu dalam berbagai
kondisi dimana ketika sebagain kaum Muslimin merasa pesimis akan menang.
Semuanya itu, menurut Syaikh Anwar Al-Awlaki, seorang da’i warga negara AS
keturunan Yaman, tidak terjadi begitu saja tapi karena Allah ‘Azza wa Jalla
memang mempersiapkan kemenangan bagi kaum Muslimin.
Menurut
Al-Awalaki, cepat atau lambat Allah swt akan memberikan kemenangan bagi umat
Islam, dan untuk meraih kemenangan itu Allah swt menciptakan kondisi tertentu
sebagai ujian bagi keimanan kaum Muslimin. Oleh sebab itu, Al-Awlaki dalam
dakwahnya menyerukan umat Islam untuk tidak takut dan tidak mudah putus asa
dalam menghadapi berbagai tantangan zaman dan tantangan dari musuh-musuh Islam.
Terkait
hal ini, Al-Awlaki mengungkap sejumlah peristiwa-peristiwa besar yang dihadapi
oleh kaum Muslimin yang membuktikan bahwa Allah swt menyiapkan sebuah
kemenangan yang gemilang bagi kaum Muslimin yang beriman teguh dalam menghadapi
berbagai cobaan, mulai dari masa dakwah Rasulullah sampai era Perang Salib.
Kemenangan Dakwah Rasulullah
Masa-masa
awal dakwah Islam yang dilakukan Rasululah di kota Makkah, merupakan masa-masa
terberat yang dihadapi Rasulullah Muhammad Saw. Tiga belas tahun Rasulullah
berdakwah di Makkah, namun tetap mendapat perlawanan dari kaum kafir Makkah dan
hanya sedikit yang mau memeluk agama Islam. Sehingga Rasulullah berinisiatif
untuk memperluas dakwah sampai ke Ta’if , di negeri ini Rasulullah juga
menerima perlawanan bahkan perlakuan yang kasar dari mereka yang menolak agama
Islam yang dibawa Rasulullah.
Hingga
datanglah masa yang disebut Bu’ath. Terkait Bu’ath Aisyah ra menyatakan,
“Bu’ath adalah sebuah hari dimana Allah ‘Azza wa Jalla memberikannya sebagai
hadiah bagi Muhammad saw.”
Hari
Bu’ath, kata Al-Awlaki, adalah hari ketika dua kelompok suku saling berperang
di Madinah dan para pemimpin kedua kelompok suku itu saling bunuh, sehingga
ketika Rasulullah mendatangi mereka, kedua kelompok suku yang saling berperang
itu tidak memiliki kepemimpinan (Mala) lagi, karena pemimpin-pemimpin mereka
terbunuh atau terluka.
Mala,
sambung Al-Awlaki juga sebutan untuk sekelompok orang yang menentang para
Ambiya, yang menentang Islam. Kelompok itu terdiri dari orang-orang yang
mengambil keuntungan dari status quo dan menolak adanya perubahan sehingga
mereka menentang dakwah para Ambiya yang memang ingin melucuti kekuasaan mereka
dan menggantikannya dengan dengan kepemimpinan yang sesuai ajaran al-Quran,
yaitu konsep kekhalifahan.
Dalam
konsep kekhalifahan, semua warga negara adalah sama dan khalifah yang dipilih
diantara mereka, adalah khalifah yang hanya dipilih untuk menenggakan
hukum-hukum Allah swt dan bukan hukum atas kepentingan pribadi orang yang
bersangkutan. Itulah sebabnya, seorang khalifah disebut Mas’uul yang artinya
seseorang yang akan dimintai pertanggungjawabannya di Hari Kiamat. Mengingat
tanggung jawab yang sangat besar, menjadi khalifah bukan posisi yang diminati
banyak orang, kecuali mereka yang memiliki kualitas yang nyaris sempurna
sebagai seorang Muslim dalam menegakkan hukum-hukum Allah swt.
Karena
tanggung jawab yang besar sebagai khalifah, seorang Umar bin Khattab pernah
mengatakan, “Saya tidak ingin dua anggota keluarga saya memegang posisi itu
pada Hari Pengadilan nanti.”
Yaum
al-Bu’ath adalah persiapan ketika tidak ada lagi kepemimpinan. Itulah sebabnya
ketika kaum Ansor berhaji ke Makkah dan mereka mendengar tentang sosok
Rasulullah Muhammad saw, kaum Ansor mengatakan, “Ayo kita bawa laki-laki ini ke
kampong halaman kita dan semoga Allah menyatukan kita semua melalui laki-laki
ini.”
“Mereka
(kaum Ansor) kehilangan arah, kehilangan sosok pemimpin. Subhanallah, manusia
tanpa sosok pemimpin tidak akan bisa bertahan. Manusia butuh seorang pemimpin
dalam kondisi baik dan buruk. Dalam kubu kebaikan ada kepemimpinan, begitu juga
kubu syaitan. Sudah menjadi sifat alamiah manusia, mereka butuh seseorang
sebagai penunjuk jalan,” tulis al-Awlaki.
Kemenangan Pasukan Islam
Menaklukan Persia
Contoh
lainnya yang membuktikan bahwa Allah swt telah menyiapkan kemenangan bagi kaum
Muslimin adalah ketika Umar bin Khattab mengirim pasukannya untuk melawan
kekuatan imperium Persia. Pemimpin pasukan Muslim, Abu ‘Ubaida ath-Thaqafi
adalah sosok yang pemberani, namun harus menelan kekalahan dalam perang al-Jisr
melawan pasukan Persia. Setengah dari pasukan Muslim terbunuh dalam perang
tersebut. Sementara pasukan Persia merayakan kemenangan mereka dan berpikir
bahwa mereka bisa mengusir kaum Muslimin di wilayah-wilayah yang sebelumnya
berhasil ditaklukkan pasukan Muslimin.
Tapi,
dalam buku At-Tarikh al-Islami, penulisnya Mahmud Shaakir menyatakan, “Allah
bersama orang-orang yang beriman.” Jika kaum Muslimin memenuhi syarat untuk
menang, maka mereka akan meraih kemenangan itu, tanpa harus melihat apakah kaum
Muslimin jumlahnya banyak atau sedikit, tanpa harus melihat apakah mereka punya
senjata berupa bom nuklir atau tidak. Persoalannya bukan dari sisi jumlah atau
kecanggihan senjata. Tapi persoalannya adalah apakah kaum Muslimin memiliki
keimanan yang teguh. Sepanjang seorang Muslim memiliki keimanan yang tidak
mudah goyah, Allah “Azza wa Jalla akan memberikan kemenangan bagi Muslim itu,
seperti yang telah dijanjikan Allah swt dalam firmannya di surah Al-Hajj ayat
38, “Sesungguhnya Allah membela orang yang beriman.”
Keimanan
yang kuat, itulah syarat dibutuhkan untuk mendapatkan pertolongan Allah swt.
Ketika kaum Muslimin yang beriman tangguh berada dalam kesulitan, maka hanya
Allah swt yang akan menolong mereka keluar dari kesulitan itu.
Lantas
apa yang terjadi setelah kemenang pasukan Persia atas kaum Muslimin? Persia
malah terlibat dalam pertempuran antara para pemimpinnya. Pasukan Persia
terpecah menjadi dua kelompok yang saling bertikai. Jenderal Persia yang
ditunjuk untuk menghadapi pasukan Muslim ditarik ke ibukota Persia untuk
mengatasi pertikaian di dalam negeri Persia. Umat Islam yang menghadapi ancaman
“pembersihan” secara permanen dari bangsa Persia, kini bebas dan kekhalifahan
Islam punya cukup waktu untuk mengerahkan kembali pasukannya guna mengalahkan
pasukan Persia. Peristiwa ini menjadi bukti, ketika situasinya nampak menjadi
tidak menguntungkan bagi kaum Muslimin, pada saat itulah Allah swt membuka
jalan bagi kemenangan kaum Muslimin.
Kemengan Kaum Muslimin dalam
Perang Salib
Peristiwa
lain yang tak kalah dashyatnya, yang menjadi momen kemenangan gemilang kaum
Muslimin adalah peristiwa Perang Salib, dimana pasukan Islam saat itu berada di
bawah komando Salahuddin Ayyubi.
Salahuddin
menyatukan para amir di seluruh Tanah Suci dan memimpin perlawanan terhadap
Pasukan Salib dari Roma yang menguasai seluruh pesisir pantai wilayah
Palestina, termasuk kota Yerusalem dan kota-kota penting lainnya di Palestina,
serta wilayah al-Sham (yang terdiri dari wilayah Yordania, Suriah, dan
Libanon).
Namun
sebagian tokoh ulama Islam saat itu menilai keinginan Salahuddin untuk melawan
penjajahan kaum Romawi di bumi Islam sebagai keinginan yang gila, mengingat
kuatnya posisi kaum Romawi dengan dukungan negara-negara Eropa. Suara umat
Islam pun terpecah antara yang mendukung dan tidak mendukung perjuangan
Salahuddin.
Salahuddin
tidak gentar, dengan bekal rasa tawakkal pada Allah swt ia tetap memimpin
perlawanan dengan jumlah pengikut yang tidak sebanding jika dibandingkan dengan
kekuatan pasukan Salib. Meski demikian, pasukan Salahuddin sedikit demi sedikit
berhasil merebut kembali wilayah-wilayah yang dikuasai pasukan Salib.
Puncak
Perang Salib, adalah Perang Salib keempat ketika Paus memobilisasi kekuatan
dari seluruh Eropa untuk melawan pasukan Muslim pimpinan Salahuddin. Tidak
tanggung-tanggung, Raja dari Inggris, Prancis dan Jerman ditunjuk langsung
untuk memimpin pasukannya masing-masing. Jika dijumlahkan, pasukan dari ketiga
kerajaan itu sangat besar. Pasukan yang dipimpin Raja Frederick Barbarossa dari
Jerman saja, diperkirakan berjumlah 300.000 orang. Saking besarnya jumlah
pasukan, kapal-kapal perang tidak bisa mengangkut semua pasukan sehingga Eropa
mengirim pasukannya ke Palestina dengan dua cara, pasukan Inggris dan Prancis
dikirim lewat laut dan pasukan Jerman dikirim lewat darat.
Jumlah
pasukan Salib yang besar, lagi-lagi membuat sebagian hari kaum Muslimin ciut
dan merasa tidak yakin mampu mengalahkan pasukan Salib. Diantara mereka, bahkan
ada yang mundur dari Jihad melawan pasukan Salib, dan ironisnya, diantara
mereka yang mundur terdapat para ulama.
Tentang
hal ini, Ibnu Athir mengatakan, “Mereka datang pada kami lewat darat dan laut.
Beredar kabar di kalangan Muslimin bahwa Raja Jerman datang dengan kekuatan
300.000 pasukan dan mereka datang dari arah Utara. Sultan-sultan Muslim dan
kaum Muslimin menjadi khawatir dan takut. Dari kalangan ulama banyak yang
bersiap-siap untuk kembali berjihad ke al-Shaam, tapi banyak juga diantara
ulama yang menarik diri karena takut mendengar jumlah pasukan Prancis yang sangat
banyak.”
Dari
sini bisa ditarik sebuah pelajaran penting bahwa ulama bukanlah sosok yang
sempurna, mereka bukan Ambiya. Sebab itu, jika ada Muslim yang secara buta
menjadi pengikut seoran ulama, tidak ada jaminan bahwa para ulama itu akan
membawa pengikutnya ke jalan yang benar.
Apalagi
di zaman seperti sekarang ini, posisi seorang ulama tidak lagi ditentukan oleh
standar ilmu yang harus mereka miliki tapi ditentukan seberapa sering ulama
bersangkutan tampil di televise sehingga membuat ulama bersangkutan terkenal
layaknya seorang selebritis.
Dahulu,
kata al-Awlaki, seseorang baru bisa disebut alim ulama jika sudah mendapatkan
pengakuan dari ulama yang menjadi guru orang yang bersangkutan. Berbeda dengan
zaman sekarang, dimana seseorang bisa tiba-tiba menjadi alim ulama karena
ditunjuk sebagai alim ulama oleh pemerintah, dan ia menjadi terkenal karena
sering tampil di berbagai stasiun televise, radio dan tampil berbagai acara,
meski keilmuannya tentang agama Islam masih belum memenuhi standar.
Kembali
ke peristiwa Perang Salib, Ibnu Athir menyebut para ulama yang lari dari jihad
melawan pasukan Salib sebagai ulama pengecut, ulama yang menggunakan
dalil-dalil agama untuk mencari pembenaran atas sikap pengecutnya, ulama yang
memutarbalikkan ayat-ayat Allah dan hadis seolah-olah ayat-ayat dan hadist itu
adalah hukum Islam yang sebenarnya. Padahal jihad itu adalah ujian Allah ‘Azza
wa Jalla bukan hanya bagi para ulama dan Salahuddin tapi juga ujian bagi umat
Islam.
Seperti
Allah menguji Nabi Musa dan Bani Israel saat terhalang Laut Merah ketika
menghindari kejaran Firaun. Ada sebagian Bani Israel yang menuding Nabi Musa
telah berbohong dan tidak mampu menyelamatkan mereka dari kejaran Firaun. Namun
Allah swt membuktikan pertolongannya dengan memerintahkan Nabi Musa agar
memukulkan tongkatnya ke air lau, sehingga terbelahkan Laut Merah yang menjadi
jalan bagi Nabi Musa dan pengikutnya untuk menyelamatkan diri dari Firaun.
Kondisi
yang hampir sama dialami pasukan Raja Frederick Barbarossa. Ada beberapa versi
yang menceritakan tentang nasib pasukan itu, salah satunya menyebutkan bahwa
pasukan Barbarossa dihadang sungai yang airnya sangat amat dingin. Raja
Barbarossa yang saat itu berusia sekitar 70 tahun, dengan mengenakan pakaian
perang, diceritakan menyeberangi sungai tapi jatuh dari kudanya ke dalam air
sungai yang dingin itu. Raja yang memimpin ratusan ribu pasukan itu terkena
serangan jantung dan tewas. Padahal menurut riwayat Ibnu Athir kedalaman air
sungai tidak sampai selutut Raja Jerman tersebut.
Setelah
pimpinannya tewas, pasukan Jerman dikabarkan terserang berbagai penyakit
sehingga pasukan Jerman itu mulai terpecah belah. Dari 300.000 pasukan, hanya
seribu orang yang berhasil sampai ke wilayah ‘Akka.
Sebelum
berangkat dengan pasukannya, Raja Barbarossa sempat mengirimkan surat pada
Salahuddin yang dengan nada arogan mengatakan bahwa ia dan pasukannya akan
mengusir pasukan Salahuddin dalam waktu satu tahun. Tapi apa yang terjadi?
Pasukan Barbarossa bahkan sudah kalah sebelum bertempur. Sang pemimpin pasukan
Salib yang arogan juga mati di tengah perjalanan. Allah ‘Azza wa Jalla tidak
pernah mengizinkan pasukan Barbarossa menginjakkan kaki ke Tanah Suci. Inilah
yang terjadi jika ada orang yang ingin memerangi agama Allah swt.
Ibnu Athir mengatakan,
“Jika bukan karena kasih sayang Allah swt atas umat ini, dengan membunuh Raja
Jerman, mungkin saat ini kita akan mengatakan bahwa Mesir dan Suriah dulunya
adalah negeri Muslim.” Tapi Allah swt berkehendak memberikan kemenangan bagi umatnya,
berapapun jumlah pasukan musuh saat itu. Dan untuk mendapatkan kemenangan itu,
Allah swt menciptakan situasi guna menguji keimanan umatnya. (ln/anwar-alawlaki.com)
Disarikan dari tulisan
Syaikh Anwar al-Awlaki. Imam Anwar al-Awlaki adalah seorang ulama kelahiran New
Mexico. Orangtuanya berasal dari Yaman dimana ia tinggal selama sebelas tahun
dan memperoleh bagian awal pendidikan Islamnya.
Imam
Anwar al-Awlaki sempat menjadi Imam masjid di Colorado, California. Kemudian ia
tinggal di kawasan Washington DC dimana ia memimpin Dar Al-Hijrah Islamic
Center sambil menjadi Pemuka Agama Islam di George Washington University.
Imam
Anwar al-Awlaki memiliki gelar S1 sebagai Insinyur Sipil dari Colorado State
University, S2 di bidang Pendidikan Kepemimpinan dari San Diego State
University serta sedang menekuni S3-nya di bidang Pengembangan Sumber Daya
Manusia di George Washington University. Ia telah menghasilkan banyak seri
audio popular termasuk “Kehidupan Para Nabi”, “Kehidupan Akhirat”, “Kehidupan
Muhammad”, “Kehidupan Umar bin Khattab”, “kehidupan Abu Bakar Ash-Shiddiq”,
“Kisah Ibnul Awka”, “Konsisten di jalan Jihad” dan banyak lagi.
Cr: http://www.eramuslim.com/nasihat-ulama/syaikh-anwar-al-awlaki-allah-sudah-menentukan-kemenangan-kaum-muslimin.htm#.UzdMzqiSw3U
Tidak ada komentar:
Posting Komentar